Langsung ke konten utama

Makkiyah vs Madaniyah

Sejak beberapa tahun yang lalu saya sudah mengetahui bahwa ayat-ayat Al Quran dikelompokkan menjadi dua, yaitu ayat-ayat Makkiyah dan ayat-ayat Madaniyah. Pembagian itu berdasarkan kapan ayat tsb diturunkan, apakah sebelum peristiwa Hijrah dan diturunkan di Mekkah, atau setelah Hijrah (dan diturunkan di Madinah). Namun, perbedaan antara ayat Makkiyah dan Madaniyah bukan hanya sekedar kapan ayat tsb diturunkan melainkan masing-masing kelompok memiliki ciri khas sendiri. Ayat-ayat Makkiyah misalnya ayatnya pendek-pendek dan ketika menyeru manusia sering diawali dengan "Yaa ayyuhan naas ...". Selain itu konon katanya ayat-ayat Makkiyah memiliki gaya bahasa sastra yang lebih kuat dibandingkan dengan ayat-ayat Madaniyah. Sebaliknya ayat-ayat Madaniyah, ayatnya lebih panjang dan ketika menyeru biasanya diawali dengan "Yaa ayyuhalladzina aamanu ...". Hal ini sudah saya ketahui sejak dulu.

Banyak ulama perpendapat bahwa ayat-ayat yang turun belakangan biasanya menghapus ayat-ayat yang turun terdahulu, jika ada perintah yang bertentangan atau kontradiksi di antara ayat yang turun terdahulu dengan ayat yang turun belakangan. Namun beberapa tahun yang lalu juga saya pernah membaca sebuah artikel (atau buku?) yang mengutip pendapat seorang ulama yang pendapatnya sangat tidak biasa, yaitu bahwa menurut ulama tsb ayat-ayat Makkiyah-lah yang seharusnya berlaku dan ayat Makkiyah-lah yang justru "menghapus" ayat-ayat Madaniyah. Namun ketika itu saya tidak terlalu menggubris pendapat tsb sehingga saya lupa atau lebih tepatnya tidak memperhatikan siapakah ulama yg berpendapat seperti itu. 

Namun seiring berjalannya waktu dan saya mulai berusaha untuk menyelami ayat-ayat Al Quran, saya mulai menyadari adanya perbedaan pokok antara ayat-ayat Makkiyah dengan Madaniyah, dimana perbedaan tsb bukan hanya sekedar panjang/pendek ayat namun lebih kepada isi ayat. Khususnya dalam mensikapi orang-orang diluar komunitas orang-orang beriman seperti Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) serta orang-orang kafir musyrik. Secara umum dapat dikatakan bahwa ayat-ayat Makkiyah lebih toleran terhadap orang-orang non-muslim sedangkan ayat-ayat Madaniyah lebih "radikal" terhadap orang-orang non-muslim. 

Beberapa perbedaan tersebut misalnya

Kasus

Makkiyah

Madaniyah

Sikap terhadap sesama pemeluk agama samawi

Dianggap sebagai satu kesatuan umat (QS 21:92, 23:52)

Dilarang menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebegai awliya (teman akrab?)

Berkonsultasi kepada sesama pemeluk agama samawi

Dianjurkan untuk bertanya kepada Ahli Kitab (QS 10:94)

Dilarang menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai awliya (pemimpin)

Sikap terhadap orang kafir

Lakum dinukum waliyadin

Perangi orang-orang kafir (QS 9:123)

Sikap terhadap orang kafir

Barangsiapa hendak beriman, hendaklah dia beriman; barangsiapa hendak kafir, biarlah dia kafir (QS 18:29)

Perangi orang-orang kafir dan munafik  (QS 66:9)

Nah, setelah saya menyadari perbedaan isi antara ayat-ayat Makkiyah vs Madaniyah, barulah kemudian saya teringat kembali kepada pendapat ulama "kontroversial" yang saya baca bertahun-tahun lalu tsb. Harus saya akui bahwa ayat-ayat Makkiyah sepertinya lebih cocok diterapkan di Indonesia yang heterogen ketimbang ayat-ayat Madinah yang "keras" terhadap orang-orang kafir. Kemudian beberapa hari yang lalu saya meng-googling dan mencari-cari siapakah ulama yang berpendapat bahwa ayat Makkiyah-lah yang justru "me-nasikh" ayat Madaniyah.

Dari hasil penelusuran saya di google, saya mendapatkan bahwa ulama yang berpendapat bahwa ayat-ayat Makkiyah-lah yang lebih bersifat umum dan "abadi" adalah ulama asal negeri Sudan, yakni Mahmoud Muhammad Thaha dan/atau Abdullah Ahmed An-na'im atau singkatnya disebut Na'im. Setelah saya membaca ulasan kedua ulama tsb, saya merasakan cocok dengan sebagian pendapat asal Sudah tsb. Saya percaya bahwa ayat-ayat Makkiyah lebih  toleran dan lebih universal ketimbang ayat-ayat Madaniyah sehingga sifatnya lebih langgeng atau abadi. Sementara ayat-ayat Madaniyah sangat terikat dengan konteks turunnya ayat (azbabun nuzul) sehingga belum tentu cocok untuk diterapkan di setiap tempat dan di setiap waktu. 

Salah satu contoh bahwa ayat Madaniyah tidak abadi atau sangat terikat dengan tempat dan waktu misalnya dalam surah Al Imran ayat 101 dan Al Hujuraat ayat 7 ada tertulis bahwasanya "di tengah-tengahmu ada Rasulullah". Ayat ini tentunya relevan pada 14 abad yang lalu, namun tidak relevan di abad 21 ini. Walaupun di tengah-tengah kita ada kitab-kitab hadits, namun saya meyakini bahwa kitab-kitab hadits tidak dapat menggantikan Rasulullah. Kalau seandainya saja kitab-kitab hadits dapat menggantikan Rasulullah, tentunya umat Islam tidak akan terpecah-pecah seperti sekarang ini: ada sunni, syiah, hizbut tahrir, liberal, anti hadits dlsb, sedangkan sunni sendiri masih terbagi lagi menjadi salafi, ikhwanul muslimin, NU, Muhammadiyah dlsb.

Ayat lainnya misalnya Kuntum khaira ummah ... dst yang menurut pendapat saya sudah tidak relevan lagi di masa kini. Kenapa? Karena perang Mesir/Yordania/Syria vs Israel tahun 1967 ternyata dimenangkan oleh Israel. Dengan demikian maka jaminan dalam QS 3:111 bahwa Ahli Kitab akan lari tunggang-langgang ketika menghadapi kaum muslim sudah tidak berlaku lagi. Sangat mungkin bahwa jaminan tsb hanya berlaku pada masa Rasulullah.

Contoh lain ayat yang kurang relevan di masa modern ini antara lain QS 9:30. Alasannya karena di masa kini tidak ada lagi orang Yahudi yang berpendapat seperti itu. Pendapat tsb sangat mungkin hanya pendapat orang-orang Yahudi yang hidup di masa Nabi atau mungkin hanya pendapat orang-orang Yahudi di masa Ezra.

 Another example is QS 5:82. Bukan hanya karena di zaman ini sudah tidak ada lagi pendeta dan rahib Nasrani yang mencucurkan airmata karena nendengarkan Al Quran, melainkan juga karena dari sisi teologi, justru agama Islam adalah agama yang paling dekat dengan agama Yahudi (Judaism). Menurut keterangan beberapa rabbi Yahudi seperti rb. Tovia Singer misalnya, orang Yahudi diperkenankan berdoa di dalam Masjid, namun orang Yahudi dilarang untuk berdoa di dalam gereja. 

Karena ayat-ayat Madaniyah sangat terikat dengan konteks turunnya ayat, maka saya berpendapat bahwa tidak semua ayat Madaniyah bisa diterapkan saat ini karena masa dan tempatnya sudah sangat berbeda. Sedangkan ayat-ayat Makkiyah lebih cocok untuk diterapkan di setiap tempat dan waktu. 

Sebagai informasi, bahwa ada masa transisi antara ayat-ayat Makkiyah dengan Madaniyah. Salah satu surat yang menunjukkan transisi tsb adalah surat Al Baqarah. Dikatakan bahwa seluruh kisah tentang penciptaan Adam dan pembangkangan iblis diturunkan dalam surah Makkiyah, kecuali Al Baqarah. Dan kita mengetahui bahwa menurut ulama surah al Baqarah adalah surat pertama yang diturunkan di Madinah. Namun saya menduga bahwa surah Al Baqarah bukanlah satu-satunya surat yang merupakan transisi antara Makkiyah dengan Madaniyah. Selain al Baqarah terdapat juga beberapa ayat Madaniyah yang diturunkan pada masa-masa transisi atau masa-masa awal hijrah, atau beberapa tahun sebelum terjadinya perang khandaq dan perang khaibar. Salah satu ayat Madaniyah yang toleran, antara lain QS 5:69 selain QS 2:62, yang saya percaya merupakan salah satu atau dua ayat yang diturunkan pada awal-awal masa hijrah. Ayat madaniyah lain yang saya asumsikan sebagai ayat transisi karena ia lebih toleran kepada non-muslim antara lain Al Maaidah 41-48 dan juga An Nisaa 136. Dalam Al Maaidah 41-48 misalnya digambarkan bahwa Nabi masih hidup bersama-sama dengan komunitas Yahudi di Madinah, bahkan orang-orang Yahudi sempat mengangkat Rasulullah sebagai hakim untuk memutuskan perkara di antara mereka sendiri.

Ayat-ayat Madaniyah mulai berubah mejadi keras terhadap Ahli Kitab kemungkinan setelah perang khandaq dan/atau perang khaibar. Ayat Al Maaidah 51 yang sangat populer tsb kemungkinan besar turun pada periode yang berbeda jauh setelah ayat Al Maaidah 41. Demikian juga perintah untuk memerangi Ahli Kitab sebagaimana tertulis dalam surah at Taubah ayat 29. Apalagi ayat-ayat awal di surah At Taubah tentunya diturunkan pada akhir-akhir masa hidup Rasulullah. 

Seperti saya singgung sebelumnya, ayat-ayat Madaniyah tentang perang tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia yang penduduknya heterogen. Karena memang sejatinya ayat-ayat tsb memang khusus ditujukan untuk orang-orang kafir yang hidup di masa Rasulullah. 

Lalu apa implikasinya buat saya?

Dalam merumuskan rukun iman, khususnya iman kepada kitab sebelum Al Quran seperti diperintahkan dalam QS 4:136, saya menduga bahwa kitab yang dimaksud adalah Kitab Musa yang kemungkinan besar berisi antara lain The Ten Commandments atau Sepuluh Perintah serta perintah Shema Israel (Hukum yang terutama). Ini karena "kitab musa" merupakan salah satu hal yang sering disebutkan dalam surah-surah Makkiyah. Dengan demikian, saya meyakini bahwa iman seorang muslim tidak akan lengkap tanpa beriman kepada Kitab Musa (The Ten Commandments and/or Shema Israel). Oleh karena itu, saya menganggap diri saya sebagai seorang muslim dan seorang noahide (shabi') sekaligus.

Relics:

Ada satu ayat Madaniyah yang saya anggap sangat toleran, yaitu QS 5:5. Kemungkinan ayat ini masih satu paket dengan ayat "Alyawma akmaltu" yang terkenal itu, karena kedua ayat tsb sama-sama menggunakan frase "al yawma". Jika demikian, maka berarti QS 5:5 termasuk salah satu ayat yang diturunkan di bulan-bulan terakhir masa hidup Rasulullah. Tapi jika melihat isi dari ayat tsb, tone-nya justru positif atau toleran kepada Ahli Kitab. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa perintah perang kepada Ahli Kitab sebagaimana disebut dalam QS 9:29 hanya bersifat temporer. Wa Allahu a'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Beatitudes: The Core of the Gospel

After years of studying the Bible, including the synoptic gospels, Thomas Gospel, Q Gospel, Marcion Gospel, etc, I came to conclusions as follows: 1. Prophet Jesus was sent to the People of Israel (the people of the book), hence the Gospel was given to the people of Israel, and was originally written in Hebrew language. Jerome called it as  matthaei authenticum . 2. However, since the majority of the people of Israel rejected him (and the gospel), therefore the gospel was transferred to another nation(s) or the gentiles, and written in other language, that is Koine Greek (cf: Gospel of Thomas Logia# 109 , Gospel of Matthew 21:43; and also Quran Sura Fathir (35) verse 32 [note: please read Tafsir Tabari about this verse Quran 35:32]) 3. The original gospel that was written in Hebrew didn't survive. The gospels available today are the one that were written in Greek, around a hundred years after Jesus gone. The closest gospel to the original one is either the Gospel of Matthew or the

Kitab Yang Diwariskan (Fathir 32): ayat yang sering terabaikan

Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada  (pula)  yang lebih cepat berbuat kebaikan dengan izin Allah. (QS 35:32) Dalam surah Fathir ayat ke 32 Allah menerangkan bahwa Allah telah mewariskan (sebuah) kitab kepada umat manusia yang dipilih oleh-Nya.  Nah, kitab apakah yang dimaksud sebagai kitab yang diwariskan kepada orang-orang pilihan tersebut? Sebagian penafsir menafsirkan bahwa yang dimaksud kitab yang diwariskan tersebut adalah Al Quran, sedangkan kaum yang mewarisi kitab tersebut adalah kaum mukmin. Hanya saja untuk penafsiran tersebut di atas terdapat satu masalah besar: yakni surah Fathir merupakan surat Makkiyah . Artinya, ketika ayat QS 35:32 tsb diturunkan, Al Quran masih belum final, dan masih jauh dari kriteria kitab yang lengkap dan sempurna. Bukankah Islam sempurna dengan turunnya ayat Al

Believe in the Scripture Before the Quran

In the Holy Koran, there is a particular verse that command the believers to believe in the Book before the Quran. " O you who believe, believe in Allah and His Messenger, and the Book which He sent down upon His Messenger, and the Book which He sent down earlier . And whoever disbelieves in Allah, and His Angels, and His Books, and His Messengers, and the Last Day, then he has certainly gone far astray ." (the Quran 4:136) “The Book which He sent down earlier ” or “the Scripture which He sent down before” is in singular form, which means that there is “only” one Book that every believer has to believe in other than the Quran. But which one? There are many books that had been sent down before Muhammad. The Torah, Psalms, and the Gospel, to name a few; not to mention the books that were given to the Prophets like Isaiah, Jeremiah, Ezekiel, Jonah, etc. To identify which book that the Quran talked about in the verse above, we have to look in some other verses: 1. “And befor