Langsung ke konten utama

Now I Know Al Maaidah 51

Setelah membaca kembali tulisan saya sendiri mengenai review saya di amazon.com terhadap buku The Divine Code yang ditulis oleh Rabbi Moshe Wiener, nampaknya kini saya paham mengapa Allah melarang orang-orang beriman untuk menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin kita di dalam Al Maaidah 51. Saya lebih suka mengartikan kata "pemimpin" di sini sebagai religious leader atau orang yang memberikan petunjuk dalam masalah keagamaan.

Kenapa orang Yahudi dan Nasrani tidak boleh dijadikan sebagai pemberi petunjuk atau dijadikan sebagai guide atau patokan atau pedoman? Simply because tidak ada jaminan bahwa mereka lebih mengetahui Kitab mereka sendiri ketimbang kita. Mungkin saja mereka benar dalam beberapa hal, namun pada saat yang sama, mereka juga mungkin salah dalam beberapa hal yang lain.

Rabbi adalah gelar terhormat di kalangan orang-orang Yahudi, dan semestinya seorang Rabbi memiliki pengetahuan yang mendalam tentang agama Yudaisme. Namun, seperti saya tuliskan sebelumnya, tidak ada jaminan bahwa pendapat seorang Rabbi adalah 100% benar. Karena, sebagaimana manusia lainnya, seorang rabbi pun bisa salah. Itu sebabnya kita dilarang untuk menjadikan seorang Yahudi atau Nasrani sebagai "wali" kita, atau saya lebih suka menginterpretasikannya sebagai pemberi petunjuk ke jalan yang lurus.

Dalam kasus Rabbi Moshe Wiener, beliau menulis di dalam bukunya bahwa seorang gentile (non-Yahudi) wajib mengikuti yang namanya Tujuh Hukum Nabi Nuh atau the seven Laws of Noah. Masalahnya adalah, menurut rabbi tsb, seorang noahide tidak boleh menambah atau mengurangi ketujuh Hukum tsb. Ini tentunya merupakan masalah besar bagi seorang muslim, karena seorang muslim memiliki sejumlah peraturan atau kewajiban yang tidak disinggung dalam tujuh hukum tsb. Kewajiban di luar ketujuh hukum tsb antara lain shalat wajib setiap hari (daily prayer), menunaikan zakat/shodaqah, puasa, kewajiban menghormati kedua orang tua, dan juga sunat/berkhitan bagi laki-laki. Semua muslim melakukan hal-hal tersebut karena kita semua meyakini bahwa itu semua adalah perintah Tuhan. Nah, ajaibnya, menurut Moshe Wiener, hal tsb berarti menambah Hukum Nuh tsb. Di mata saya, justru Rabbi Moshe Wiener ini menciptakan "agama" Noahide versi dia sendiri, karena dia sendiri yang menentukan hukum-hukumnya tanpa memiliki dalil dari Kitab Suci (Taurat atau Kitab para Nabi). Intinya adalah, kalau kita menggunakan standar seorang Moshe Wiener, maka seorang muslim tidak bisa menjadi seorang Noahide. Padahal saya pernah menonton youtube dan menyaksikan rabbi lain yang berpendapat sebaliknya bahwa seorang muslim bisa menjadi seorang Noahide. Mana yang saya percaya, tentu saja yang masuk akal saya, bahwa seorang muslim sangat mungkin menjadi seorang Noahide.
Kini saya mengerti mengapa Allah melarang kita menjadikan seorang Yahudi ataupun Nasrani menjadi pemimpin kita, even if he is a famous rabbi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beda Penekanan Ajaran Injil dengan Quran

Setelah bertahun-tahun membaca Al Quran dan Alkitab, saya mendapatkan kesan bahwa ajaran yang terdapat dalam Injil khususnya Double Tradition (Injil Matius dan Lukas) adalah ajaran untuk level advanced , yaitu untuk orang-orang yang tingkat keimananannya sudah sangat tinggi. Sehingga bagi orang awam, sebagian ajaran Injil tersebut sulit untuk diimplementasikan. Berbeda dengan ajaran Al Quran yang lebih "membumi" dan lebih mudah diterapkan. Namun, sebelum saya membahas mengenai beda penekanan antara ajaran Injil dengan Al Quran, sebelumnya saya ingin menyampaikan terlebih dahulu mengenai asal-asul atau dalil yang menjadi basis bagi ajaran The Noahides atau The Seven Laws of Noah , atau Tujuh Hukum Nabi Nuh, atau mungkin lebih tepatnya Tujuh Hukum Nabi Adam. Beberapa rabbi terdahulu merumuskan the Seven Laws of Noah atau mungkin lebih tepatnya the Six Laws of Adam berdasarkan ayat Genesis 2:16, yang berbunyi: And the Lord God commanded the man saying: Of every Tree ....  ...

Believe in the Scripture Before the Quran

In the Holy Koran, there is a particular verse that command the believers to believe in the Book before the Quran. " O you who believe, believe in Allah and His Messenger, and the Book which He sent down upon His Messenger, and the Book which He sent down earlier . And whoever disbelieves in Allah, and His Angels, and His Books, and His Messengers, and the Last Day, then he has certainly gone far astray ." (the Quran 4:136) “The Book which He sent down earlier ” or “the Scripture which He sent down before” is in singular form, which means that there is “only” one Book that every believer has to believe in other than the Quran. But which one? There are many books that had been sent down before Muhammad. The Torah, Psalms, and the Gospel, to name a few; not to mention the books that were given to the Prophets like Isaiah, Jeremiah, Ezekiel, Jonah, etc. To identify which book that the Quran talked about in the verse above, we have to look in some other verses: 1. “And befor...

Makkiyah vs Madaniyah

Sejak beberapa tahun yang lalu saya sudah mengetahui bahwa ayat-ayat Al Quran dikelompokkan menjadi dua, yaitu ayat-ayat Makkiyah dan ayat-ayat Madaniyah. Pembagian itu berdasarkan kapan ayat tsb diturunkan, apakah sebelum peristiwa Hijrah dan diturunkan di Mekkah, atau setelah Hijrah (dan diturunkan di Madinah). Namun, perbedaan antara ayat Makkiyah dan Madaniyah bukan hanya sekedar kapan ayat tsb diturunkan melainkan masing-masing kelompok memiliki ciri khas sendiri. Ayat-ayat Makkiyah misalnya ayatnya pendek-pendek dan ketika menyeru manusia sering diawali dengan "Yaa ayyuhan naas ...". Selain itu konon katanya ayat-ayat Makkiyah memiliki gaya bahasa sastra yang lebih kuat dibandingkan dengan ayat-ayat Madaniyah. Sebaliknya ayat-ayat Madaniyah, ayatnya lebih panjang dan ketika menyeru biasanya diawali dengan "Yaa ayyuhalladzina aamanu ...". Hal ini sudah saya ketahui sejak dulu. Banyak ulama perpendapat bahwa ayat-ayat yang turun belakangan biasanya menghapus aya...